Negara Kesatuan dan Presidensialisme Indonesia: Jalan Panjang Menuju Sistem yang Kita Kenal Hari Ini

Kharizal Afriandi
0

“Kita mendirikan negara Indonesia yang merdeka, yang bersatu, yang berdaulat, adil dan makmur.”
— Soekarno, Pidato 1 Juni 1945


 


Indonesia hari ini dikenal sebagai negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensial. Tapi jalan menuju bentuk itu tidaklah sederhana. Ia bukan hasil mencontek satu sistem dari luar negeri. Ia adalah hasil dari sejarah panjang perdebatan, kegagalan, kompromi, dan dinamika politik yang tak selalu rapi.

Mengapa para pendiri bangsa memilih bentuk negara kesatuan dan bukan federal?
Mengapa sistem presidensial dianggap lebih cocok daripada sistem parlementer?
Dan yang terpenting—apakah pilihan itu masih relevan di usia 80 tahun Indonesia merdeka?

Artikel ini akan mengajak Anda menyusuri proses historis dan politik yang membentuk fondasi pemerintahan kita hari ini.


I. Masa Menjelang Kemerdekaan: Saat Gagasan Negara Masih Diperdebatkan

Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945, para tokoh bangsa mulai merumuskan dasar negara dan bentuk pemerintahan. Kala itu, wacana yang beredar cukup beragam: negara Islam, negara federal, sistem parlementer, hingga monarki konstitusional.

Namun satu hal yang dominan dalam benak para pendiri bangsa: Indonesia harus bersatu.

Soekarno, dalam pidatonya yang terkenal tanggal 1 Juni 1945, mengatakan:

"Negara Indonesia bukan milik satu golongan, bukan milik satu agama, bukan milik satu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!"

Konteks saat itu penting untuk dipahami. Wilayah Indonesia sangat luas dan beragam, namun pernah dipersatukan secara administratif oleh Hindia Belanda. Meskipun Hindia Belanda sendiri mengelola wilayah secara terpisah-pisah, namun warisan administratif itulah yang dijadikan dasar untuk menyatukan semua daerah ke dalam satu negara.

Tokoh-tokoh seperti Muhammad Yamin dan Soepomo mendukung bentuk negara kesatuan. Soepomo menyebut bahwa:

“Negara kesatuan lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang menjunjung asas kekeluargaan.”

Dengan demikian, sejak awal, negara kesatuan dipilih bukan hanya karena alasan praktis, tapi juga berdasarkan ideologis—sebagai bentuk "persatuan dalam keberagaman".


II. Negara Federal Gagal Sebelum Lahir

Meski proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menyatakan Indonesia sebagai negara merdeka dan bersatu, pada tahun 1949 Indonesia sempat diubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil tekanan dari Belanda dalam Konferensi Meja Bundar.

Indonesia saat itu terpecah menjadi 16 negara bagian buatan Belanda, termasuk Negara Pasundan, Negara Sumatra Timur, dan lain-lain. Presiden Soekarno menjadi Presiden RIS, namun merasa bentuk ini bertentangan dengan semangat proklamasi.

Dalam waktu kurang dari satu tahun, negara-negara bagian RIS membubarkan diri dan menyatakan kembali bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proklamasi 17 Agustus 1945 ditegaskan ulang pada 17 Agustus 1950 sebagai titik balik kembali ke negara kesatuan.


III. Sistem Pemerintahan: Dari Presidensial ke Parlementer dan Kembali Lagi

Awalnya, konstitusi 1945 mengatur sistem presidensial, di mana Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun pada 1950, konstitusi diubah menjadi UUD Sementara (UUDS), dan Indonesia berpindah ke sistem parlementer.

Hasilnya? Ketidakstabilan.

Selama masa 1950–1959, Indonesia memiliki tujuh kabinet yang berganti-ganti dalam waktu singkat. Tidak ada partai mayoritas, dan sistem multipartai membuat pemerintahan seringkali rapuh karena tarik-menarik koalisi.

Dalam jurnal Dinamisasi Kabinet dan Konsistensi Presidensialisme di Indonesia (Unisma, 2023), dijelaskan bahwa:

“Sistem parlementer sulit diterapkan di Indonesia karena tidak adanya partai dominan dan rendahnya kedewasaan politik.”

Presiden Soekarno akhirnya mengambil keputusan besar: mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi negara, sekaligus mengembalikan sistem presidensial.

Soekarno menegaskan:

“Konstituante gagal menyusun Undang-Undang Dasar. Maka demi keselamatan negara, saya ambil tanggung jawab penuh untuk kembali ke UUD 1945.”


IV. Era Orde Baru: Presidensialisme Menguat, Tapi Demokrasi Melemah

Di bawah Soeharto, sistem presidensial berjalan dengan stabil secara administratif, tapi dengan demokrasi yang terkekang. Presiden dipilih oleh MPR, kabinet tak pernah berganti, dan partai politik dibatasi hanya tiga: Golkar, PPP, dan PDI.

Secara teknis, sistem presidensial berjalan. Tapi secara substantif, kontrol kekuasaan sangat terpusat. Tak ada oposisi yang efektif, dan lembaga legislatif tak punya taji.


V. Reformasi 1998 dan Amandemen UUD: Presidensialisme yang Lebih Demokratis

Pasca Reformasi, Indonesia melakukan empat kali amandemen UUD 1945 (1999–2002). Sistem presidensial dipertahankan, namun diperkuat dengan unsur demokratis:

  • Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat

  • Masa jabatan dibatasi maksimal 2 periode

  • DPR dan DPD diperkuat sebagai representasi legislatif

  • Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjaga konstitusi

Namun, dalam praktiknya, muncul anomali presidensialisme.

Presiden yang secara teori punya kewenangan penuh, justru seringkali "terpaksa" membentuk koalisi gemuk dengan partai-partai besar agar dapat menjalankan pemerintahan tanpa gangguan DPR.

Dalam jurnal Risiko Koalisi Gemuk dalam Sistem Presidensial Indonesia (UII, 2021), disebutkan:

“Koalisi gemuk membuat Presiden kehilangan kontrol terhadap kabinet dan mengaburkan akuntabilitas kebijakan.”

Menteri bisa berasal dari partai-partai yang bertentangan secara ideologi, hanya demi menjaga stabilitas politik. Akibatnya, kebijakan sering dikompromikan.


VI. Apakah Sistem Ini Masih Relevan?

Jawaban jujurnya: ya, namun dengan syarat dan catatan penting.

  • Negara kesatuan tetap relevan untuk menjaga keutuhan bangsa, namun perlu ada penguatan terhadap otonomi daerah secara fungsional, bukan simbolik.

  • Sistem presidensial demokratis tetap diperlukan, namun harus didampingi oleh reformasi partai politik agar tak hanya jadi alat transaksi kekuasaan.

  • Koalisi pemerintah harus dibangun atas dasar visi dan program, bukan semata kursi.

Seperti disampaikan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie:

“Kita sudah punya struktur demokrasi yang cukup mapan. Tinggal memperbaiki kultur politiknya.”


Penutup: Demokrasi dan Sistem Pemerintahan adalah Proses, Bukan Produk Jadi

Bentuk negara dan sistem pemerintahan Indonesia bukan hasil copy-paste dari luar negeri. Ia adalah produk sejarah bangsa ini: hasil dari perjuangan, krisis, eksperimen, dan refleksi.

Saat kita memperingati 80 tahun kemerdekaan, kita diajak untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga merenungkan kembali sistem yang kita bangun bersama. Apa yang harus kita pertahankan? Apa yang harus kita perbaiki?

Negara kesatuan dan presidensialisme bukanlah tujuan akhir. Ia hanyalah kerangka—dan isinya adalah kita: warga negara yang aktif, kritis, dan cinta pada republik ini.


Referensi Akademik:

  1. https://jurnal.amikom.ac.id/index.php/jspg/article/view/153

  2. http://riset.unisma.ac.id/index.php/hukeno/article/view/10756

  3. https://jurnal.insanciptamedan.or.id/index.php/educandumedia/article/view/197

  4. https://jurnal.uii.ac.id/IUSTUM/article/download/5119/4526

  5. https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/download/14620/10402

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default