Kuil Ta Muen Thom dan Luka Batas yang Tak Kunjung Sembuh: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi Konflik Thailand & Kamboja

Kharizal Afriandi
1

 

Di punggung Pegunungan Dângrêk, berdiri sebuah kuil batu yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah, kepercayaan, dan perseteruan. Prasat Ta Muen Thom bukan hanya reruntuhan. Ia adalah cermin masa lalu yang memantulkan wajah rumit masa kini: antara kebesaran Khmer dan sengketa modern yang berdarah.



Langkah di Atas Jalur Suci

Dibangun pada abad ke-11 oleh Raja Udayadityavarman II, Ta Muen Thom bukan kuil biasa. Ia berdiri di perbatasan yang kini disengketakan antara Thailand dan Kamboja, tetapi dahulu adalah salah satu simpul penting di jalur kerajaan kuno yang menghubungkan Angkor dan Phimai. Jalur ini dikenal sebagai Ancient Khmer Highway — jalan batu yang dilalui kereta kayu, peziarah, prajurit, dan mimpi-mimpi kekuasaan.

Berbeda dari candi-candi Hindu lainnya yang lazimnya menghadap timur, Ta Muen Thom menghadap selatan — mengikuti arah arus peziarah yang menanjak dari dataran menuju gunung. Posisinya strategis: tinggi, terlindung, dan penuh makna spiritual. Kuil ini bukan hanya tempat persembahan kepada dewa Siwa, melainkan juga pelindung bagi jiwa-jiwa dalam perjalanan.

Di sekitarnya, dua bangunan lain turut melengkapi sistem suci ini: Prasat Ta Muen Toch yang menjadi rumah sakit kerajaan dan Prasat Ta Muen sebagai tempat peristirahatan. Semuanya dibangun untuk mendukung kesejahteraan dan keselamatan para pelintas yang menempuh perjalanan spiritual dan politis dalam satu napas.


Konflik yang Menolak Pupus

Sejak lama, Ta Muen Thom berada dalam titik rawan antara dua bangsa. Bukan hanya karena lokasinya di garis batas, melainkan karena ia mewakili sesuatu yang lebih dalam: identitas budaya dan kebanggaan sejarah.

Pada Juli 2025, konflik yang telah lama membara kembali meletus. Bentrokan bersenjata antara tentara Thailand dan Kamboja pecah di kawasan sekitar kuil. Rudal, artileri, dan serangan udara saling menghantam. Setidaknya 13 orang tewas, termasuk warga sipil. Ribuan orang mengungsi, desa-desa di perbatasan kosong ditinggalkan oleh penduduknya yang ketakutan.

Thailand mengerahkan jet tempur F-16. Kamboja menuduh pelanggaran wilayah dan menurunkan pasukan tambahan ke wilayah pegunungan. Komando datang dari dua pusat kekuasaan yang berseteru, tetapi dampaknya dirasakan oleh mereka yang tinggal di sekitar reruntuhan.

Kuil suci yang dahulu melindungi peziarah kini jadi saksi ledakan roket dan peluru. Dinding batu yang memuat prasasti damai, hari ini dihantam dengan retorika perang dan bom mortir.


Simbol dan Sengketa: Warisan yang Direnggut Waktu

Persengketaan atas Ta Muen Thom bukan semata konflik teritorial. Ia berakar dari sejarah kolonial — ketika peta batas ditarik oleh tangan asing. Prancis, saat menjajah Kamboja, menyusun peta administratif yang hari ini menjadi sumber ketegangan.

Thailand mengklaim situs itu telah tercatat sebagai warisan nasional sejak 1935. Kamboja menyebutnya bagian dari kekayaan peradaban Khmer yang tak boleh diklaim sepihak. Sejak konflik serupa di Preah Vihear memuncak pada 2008, tensi di wilayah ini tak pernah benar-benar padam. Dan kini, kembali membara.

Namun konflik ini bukan hanya soal geopolitik. Ia telah masuk ke dalam hati rakyat kedua bangsa — melalui narasi media, pendidikan, dan rasa kebangsaan. Setiap reruntuhan menjadi simbol perjuangan. Setiap batu yang bergeser dianggap kehilangan martabat nasional.


Luka Sosial di Tanah Suci

Dari sudut sosiologis, bentrokan ini memperlihatkan bagaimana situs budaya dapat mengalami militarisasi makna. Kuil yang sejatinya simbol spiritual, kini dikawal dengan laras senapan. Arkeologi dan militer berjalan berdampingan dalam absurditas sejarah modern.

Warga di desa-desa perbatasan hidup dalam dilema ganda: takut kehilangan tanah, dan takut kehilangan damai. Ketika sirene berbunyi, anak-anak lari ke tempat perlindungan. Ladang dibiarkan kosong. Sekolah ditutup. Batas negara bukan lagi garis imajiner, melainkan dinding konkret yang membelah hidup sehari-hari.

Dalam tragedi ini, yang hilang bukan hanya nyawa dan tanah. Tapi juga rasa saling percaya.


Kuil yang Masih Bernapas

Meski digerus waktu dan konflik, Ta Muen Thom tetap berdiri. Gerbang torana-nya yang agung, dinding batu yang berpahat narasi Hindu kuno, dan lorong menuju ruang lingga — semua masih bisa dijelajahi. Tapi tak ada lagi langkah peziarah, hanya jejak pasukan dan tanda larangan masuk.

Namun, kuil ini menyimpan harapan. Bahwa sejarah, jika dirawat dengan bijak, bisa jadi jembatan. Bahwa batu-batu ini bisa kembali menjadi tempat belajar, bukan berebut. Bahwa identitas bangsa tak harus dibangun di atas reruntuhan bangsa lain.


Jejak Akhir: Siapa yang Memiliki Masa Lalu?

Pertanyaan tentang siapa yang berhak atas kuil ini mungkin tak pernah punya jawaban sederhana. Tapi satu hal pasti: Ta Muen Thom adalah bagian dari warisan dunia. Ia milik semua yang menghargai sejarah, bukan hanya mereka yang memegang senjata atau mengibarkan bendera.

Ketika kita menatap dinding batunya yang bisu, kita diajak merenung. Sejarah tidak pernah netral. Ia ditulis oleh mereka yang menang. Tapi reruntuhan seperti Ta Muen Thom — dalam keheningannya — selalu menyuarakan kebenaran yang lebih dalam: bahwa warisan adalah milik semua manusia, selama kita bersedia menjaganya.


Referensi

  • Prasat Ta Muen Thom – Wikipedia

  • Ancient Khmer Highway – Wikipedia

  • Konflik Perbatasan Thailand-Kamboja 2008–2011 – Wikipedia

  • Konflik Perbatasan Thailand-Kamboja 2025 – Wikipedia

  • Hello Angkor: Ta Muen Thom

  • The Guardian, AP News, Reuters – Laporan konflik 23–24 Juli 2025

  • Analisis sosiologis konflik warisan budaya – JSTOR, Social Anthropology Quarterly

  • RFA, Asia News Network – Evakuasi warga dan dampak sosial konflik

  • Al Jazeera – Rekonstruksi diplomatik konflik batas dan intervensi PBB

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Secara umum tulilsan ini memilliki kekuatan dari sisi historiografi dan analisis sosiopolitik. Fakta sejarah, dimensi spiritual dan implikasi politik kontemporer, disampaikan berimbang. Aspek kemanusiaan juga termasuk yang dibahas dan lebih dari itu, artikel ini sebenarnya menawarkan sebuah ruang bagi narasi bahwa candi dimaksud sebetulnya merupakan warisan budaya bersama yang melampaui batas-batas politik modern. Akan lebih baik lagi jika artikel ini juga menghubungkan tren global-bagaimana dunia internasional memberikan respon terhadap polarisasi warisan budaya dalam konflik perbatasan.

    BalasHapus
Posting Komentar
3/related/default