Dari Angkor ke Preah Vihear: Luka Lama dan Bayang-Bayang Nasionalisme di Antara Kamboja dan Thailand

Kharizal Afriandi
0

 




Di perbatasan berbatu antara Thailand dan Kamboja, berdiri sebuah candi tua yang telah menatap langit sejak abad ke-11: Preah Vihear. Candi itu bukan hanya saksi bisu kebesaran Kekaisaran Khmer, tapi juga menjadi simbol sengketa yang terus menyala bahkan di abad ke-21. Apa yang membuat sepetak tanah dengan reruntuhan suci ini menjadi bara dalam hubungan dua bangsa tetangga? Untuk menjawabnya, kita harus berjalan mundur melewati kabut sejarah, dari reruntuhan Angkor hingga meja-meja perundingan ASEAN.

Kerajaan-Kerajaan Tua dan Ambisi yang Tumpang Tindih

Sebelum batas negara digambar dengan tinta di peta kolonial, kawasan ini dihuni oleh kerajaan-kerajaan yang saling mempengaruhi dan menundukkan satu sama lain. Kerajaan Khmer yang berpusat di Angkor bukan hanya besar secara wilayah, tapi juga secara budaya. Namun pada abad ke-15, pusat kekuasaan berpindah ketika Kekaisaran Ayutthaya (yang kelak menjadi Thailand modern) mulai menguat dan berkali-kali menginvasi Kamboja, menjarah ibu kota Longvek pada 1594.

Hubungan dua negara ini sejak awal sudah tidak pernah benar-benar seimbang. Dalam memori Thailand, Kamboja adalah "adik yang hilang" — sebuah negeri yang dahulu tunduk lalu kini memberontak. Sementara dalam pandangan Kamboja, Thailand adalah agresor budaya dan politik yang mencuri warisan serta membentuk narasi sejarah versi mereka sendiri. Ketegangan identitas ini kemudian menjadi fondasi dari nasionalisme modern kedua negara.

Peta Kolonial dan Warisan Perpecahan

Seperti banyak konflik di Asia Tenggara, kolonialisme Eropa memperumit segalanya. Pada tahun 1907, Perancis dan Siam (Thailand saat itu) menandatangani perjanjian batas wilayah yang mengalihkan sebagian besar wilayah Kamboja barat ke Prancis. Di antara peta yang ditandatangani dan yang digunakan di lapangan, ada ketidaksesuaian fatal: candi Preah Vihear, menurut peta yang dibuat Survei Perancis, berada di sisi Kamboja.

Thailand kemudian menolak keabsahan peta tersebut, dan setelah sempat menduduki kembali wilayah itu, Kamboja membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962. ICJ memutuskan candi itu secara hukum milik Kamboja, tapi masalahnya tidak selesai di sana. Thailand menerima putusan itu, namun rakyat dan nasionalis garis keras menyimpan dendam sejarah.

Nasionalisme Baru dan Politik Dalam Negeri

Di awal abad ke-21, konflik Preah Vihear meledak kembali. Bukan semata karena sengketa batas wilayah, tapi karena politik domestik kedua negara yang makin populis dan mengandalkan simbol-simbol sejarah untuk mendulang dukungan. Di Thailand, kelompok nasionalis anti-Thaksin menyerang kebijakan pemerintah yang dianggap lemah terhadap Kamboja. Di sisi lain, Kamboja di bawah Hun Sen dengan lihai memainkan isu Preah Vihear sebagai penegasan kedaulatan dan simbol perlawanan atas "penindasan Siam".

Inilah saat sejarah dijadikan alat politik. Patung-patung raja kuno dibangun, buku sejarah direvisi, dan media sosial membakar semangat generasi muda dengan narasi kebangsaan yang tajam. Di sekolah-sekolah Thailand, Kamboja masih dianggap sebagai saudara yang hilang. Di Kamboja, Thailand digambarkan sebagai pencuri warisan budaya. Sejarah tidak lagi jadi pelajaran, tapi amunisi.

ASEAN, ICJ, dan Realitas Politik Regional

ASEAN, yang dibentuk untuk menjaga stabilitas regional, menjadi saksi bisu betapa sulitnya menjadi mediator dalam konflik berbasis identitas dan sejarah. Indonesia sempat menjadi penengah dalam konflik berdarah yang terjadi pada 2008 hingga 2011, ketika kedua negara saling menembaki perbatasan dan ribuan warga sipil mengungsi. Resolusi parsial datang lewat ICJ kembali pada 2013, yang menegaskan zona sekitar candi adalah milik Kamboja. Tapi retakan sosial dan ketidakpercayaan tetap dalam.

Konflik terbaru yang pecah kembali pada 2025 menunjukkan bahwa luka sejarah ini belum sembuh. Unjuk rasa ribuan warga di Phnom Penh dan demonstrasi tandingan di Bangkok membuktikan satu hal: ketika sejarah digunakan sebagai alat politik, bukan jendela untuk memahami masa lalu bersama, maka bara konflik akan terus menyala.

Akhir yang Belum Tiba

Sejarah Kamboja dan Thailand bukan kisah hitam putih antara penjajah dan terjajah, melainkan tarian panjang dua kerajaan dengan ego dan identitas besar. Di balik candi-candi megah dan prasasti berlumur lumut, ada percakapan panjang tentang siapa yang lebih dulu membangun, siapa yang lebih dulu berjaya, dan siapa yang pantas memiliki warisan masa lalu.

Namun satu pelajaran yang bisa dipetik: selama sejarah dijadikan alat untuk menyulut kebencian, bukan jendela untuk saling memahami, maka reruntuhan seperti Preah Vihear akan terus menjadi medan tempur yang sunyi tapi tak pernah benar-benar damai.

"History is written by the victors," kata Winston Churchill. Tapi di Asia Tenggara, sejarah sering ditulis ulang oleh para politisi yang ingin menang pemilu. Jika benar ingin rekonsiliasi, mungkin waktunya dua bangsa ini duduk bersama — bukan untuk menulis ulang sejarah, tapi untuk membaca ulang bersama, dengan kacamata yang lebih bijak. Karena hanya dengan itu, Preah Vihear bisa kembali menjadi candi suci, bukan medan perang.


Daftar Referensi

  1. Chachavalpongpun, Pavin. (2012). Embittered History: The Roots of the Thailand–Cambodia Conflict.
  2. Chachavalpongpun, Pavin. (2015). Glorifying the Inglorious Past: Nationalism in Thai–Cambodian Relations.
  3. Deth, Sok Udom. (2020). A History of Cambodia–Thailand Diplomatic Relations 1950–2020.
  4. Var, Veasna. (2017). Sovereignty Disputes and the Role of ASEAN in the Cambodia–Thailand Conflict.
  5. So, Sokbunthoeun. (2013). The Cambodia–Thailand Conflict: A Test for ASEAN.
  6. Bultmann, Daniel. (2016). Conflict and Elite Formation in Thailand, Laos and Cambodia.
  7. Pou, Sothirak. (2013). Border Dispute and Political Mobilization in Cambodia.
  8. Turcsányi, Richard & Kříž, Zdeněk. (2018). Thai–Cambodian Conflict: The Final Stage at Preah Vihear?
  9. East Asia Forum. (2012). Thai–Cambodian Conflict Rooted in History oleh Kimly Ngoun.
  10. Mahkamah Internasional (ICJ) – Putusan 1962 dan Klarifikasi 2013 atas Sengketa Preah Vihear.


#SejarahAsiaTenggara
#PreahVihear
#ThailandCambodia
#PolitikIdentitas
#ASEANConflicts
#SejarahKamboja
#SejarahThailand
#WarisanBudaya
#GeopolitikASEAN

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default