Dari Penyangkalan ke Pengakuan: Historiografi Belanda atas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Kharizal Afriandi
1



Abstrak:

Artikel ini menelaah secara mendalam evolusi historiografi Belanda terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan menganalisis sumber primer dan sekunder serta hasil-hasil penelitian mutakhir dari lembaga akademik Belanda, artikel ini mengevaluasi bagaimana persepsi pemerintah dan masyarakat Belanda terhadap peristiwa tersebut berubah dari masa kolonial hingga era kontemporer. Fokus diberikan pada perbedaan interpretasi historis yang lahir dari dinamika politik, akademik, dan moral yang menyertainya.

Pendahuluan:
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah tonggak sejarah yang tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia, tetapi juga menantang narasi kolonialisme Eropa. Bagi Belanda, proklamasi ini pada awalnya dianggap tidak sah secara hukum dan merupakan hasil dari kekosongan kekuasaan pasca pendudukan Jepang. Namun, dalam dekade-dekade berikutnya, terjadi transformasi signifikan dalam cara Belanda memandang dan menulis ulang sejarah ini. Artikel ini bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana pandangan historiografis Belanda terhadap proklamasi tersebut berubah, serta mengapa dan bagaimana perubahan itu terjadi.

Historiografi Belanda pada Masa Pasca-1945:
Pada periode 1945–1950, Pemerintah Belanda menolak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan bersikeras bahwa kedaulatan Indonesia baru sah diberikan pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar. Historigrafi resmi pada masa ini sejalan dengan narasi negara: Indonesia belum merdeka sebelum pengalihan kedaulatan secara formal.

Pandangan ini diperkuat oleh sumber-sumber seperti:

  • Parlement.com: "Nederland beschouwde de op 17 augustus 1945 uitgeroepen Indonesische onafhankelijkheid als een direct gevolg van de Japanse bezetting tijdens de Tweede Wereldoorlog en wilde deze daarom niet erkennen."

  • CVCE.eu: "Indonesia endured four years of military and diplomatic confrontation with the Netherlands, until the Dutch government recognised the independence of the Dutch East Indies in December 1949."

Pandangan historiografis ini menekankan legalitas formal dan tidak memberi ruang bagi keabsahan politik dan moral dari proklamasi tersebut. Penulisan sejarah Belanda pasca-1945 banyak diwarnai oleh kepentingan negara dan cenderung mengabaikan suara dari pihak Indonesia.

Perubahan Historiografis Sejak Tahun 2000-an:
Awal abad ke-21 menandai titik balik penting dalam kajian sejarah Belanda mengenai dekolonisasi. Muncul generasi baru sejarawan yang lebih kritis terhadap narasi lama dan terbuka terhadap perspektif poskolonial. Penelitian-penelitian ini dipicu oleh keterbukaan arsip, tekanan masyarakat sipil, dan hubungan diplomatik yang lebih setara antara Indonesia dan Belanda.

Penelitian monumental yang dilakukan oleh tiga lembaga terkemuka di Belanda—NIOD, KITLV, dan NIMH—yang menghasilkan karya berjudul "Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950" menjadi tonggak penting dalam meninjau kembali posisi Belanda dalam konflik dekolonisasi.

Kesimpulan utama dari studi ini menyebutkan:

"Het Nederlandse militaire optreden in Indonesië ging structureel gepaard met extreem geweld, dat werd getolereerd door de politieke en militaire leiding."

Dengan kata lain, kekerasan ekstrem yang dilakukan tentara Belanda selama perang kemerdekaan bersifat sistematis dan bukan insiden terisolasi. Hasil riset ini mengguncang fondasi narasi kolonial Belanda dan memicu refleksi nasional.

Pengakuan Politik dan Historis :
Puncak dari perubahan ini terjadi pada 14 Juni 2023, ketika Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, menyatakan di hadapan parlemen:

"Nederland erkent volledig en zonder voorbehoud dat Indonesië op 17 augustus 1945 onafhankelijk werd."

Pernyataan ini bukan hanya pengakuan politik, melainkan juga simbol dari pergeseran historiografi dan kesadaran kolektif Belanda mengenai warisan kolonialnya.

Referensi akademik dan moral yang menopang pengakuan ini berasal dari buku "Over de Grens" dan ringkasan penelitian tiga lembaga yang menunjukkan bahwa narasi lama tidak dapat lagi dipertahankan.

Sintesis dan Evaluasi:
Perkembangan historiografi Belanda terhadap Proklamasi 1945 menunjukkan dinamika hubungan antara sejarah, kekuasaan, dan pertanggungjawaban moral. Dari narasi legalistik dan euro-sentris, terjadi pergeseran menuju pemahaman yang lebih inklusif dan berbasis bukti. Para sejarawan kontemporer tidak lagi melihat Proklamasi 1945 sebagai peristiwa sekunder, melainkan sebagai momen revolusioner yang sah secara moral dan historis.

Meski demikian, perdebatan masih ada. Beberapa kalangan konservatif di Belanda tetap mempertanyakan legitimasi kekerasan revolusioner Indonesia dan memandang pengakuan 17 Agustus sebagai kontras terhadap kesepakatan KMB. Namun, secara umum konsensus akademik kini mengakui bahwa penolakan masa lalu merupakan bentuk penyangkalan sejarah.

Kesimpulan:
Tinjauan ini menunjukkan bahwa historiografi Belanda atas Proklamasi 17 Agustus 1945 telah berubah dari penyangkalan menjadi pengakuan penuh. Perubahan ini bukan terjadi tiba-tiba, melainkan hasil dari proses panjang dekonstruksi narasi kolonial oleh sejarawan, akademisi, dan tekanan moral dari masyarakat sipil. Tantangan berikutnya adalah bagaimana narasi ini diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dan wacana publik, baik di Belanda maupun Indonesia.

Daftar Referensi:

  • NIOD, KITLV, NIMH. (2022). Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950.

  • Parlement.com. "Soevereiniteitsoverdracht aan Indonesië 1949".

  • NOS.nl. "Nederland erkent 17 augustus 1945 als onafhankelijkheidsdag Indonesië", 14 Juni 2023.

  • KNAW.nl. "Onderzoek: Nederlands extreem geweld in de Indonesische onafhankelijkheidsoorlog 1945-1949".

  • CVCE.eu. "The beginnings of decolonisation and the emergence of the non-aligned states".

  • "Over de Grens" (2022). NIOD, Amsterdam University Press.

Posting Komentar

1 Komentar

Posting Komentar
3/related/default