“Menjaga yang Merdeka”: Sejarah Kepolisian Indonesia dalam Pusaran Negara dan Rakyat
Oleh: kharizal afriandi
Ketika republik muda bernama Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, banyak yang terlintas dalam pikiran para pendirinya: bagaimana mengelola negara merdeka, bagaimana memulihkan ekonomi, dan yang tidak kalah penting—bagaimana menciptakan ketertiban dan kepercayaan.
Di tengah kekacauan pasca-kemerdekaan, ketika pemerintahan sipil belum stabil dan kekuatan militer belum tertata, lahirlah sebuah institusi bernama Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugasnya jelas: menjaga keamanan masyarakat dan kedaulatan hukum di tanah air yang baru saja terbebas dari penjajahan. Tapi seiring berjalannya waktu, peran itu berubah-ubah: dari pengawal kemerdekaan, alat kekuasaan, simbol nasionalisme, hingga aparat yang kadang melukai harapan rakyatnya sendiri.
Artikel ini menyusuri jejak panjang kepolisian Indonesia, dengan fokus pada masa Sukarno dan bagaimana warisan struktur, ideologi, serta tantangan internal terus membentuk wajah Polri hingga hari ini.
Bermula dari Kekosongan: Polisi dan Revolusi
Tidak banyak yang tahu bahwa pembentukan Kepolisian Negara terjadi hanya dua hari setelah proklamasi. Pada 19 Agustus 1945, Badan Kepolisian Negara secara resmi dibentuk oleh Pemerintahan Indonesia, dengan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara pertama.
Namun, ini bukan sekadar pembentukan struktur birokratis. Pada saat itu, Indonesia belum memiliki tentara nasional. Maka, polisi—bersama laskar rakyat dan kelompok pemuda revolusioner—menjadi ujung tombak pertahanan dan stabilisasi sosial. Mereka menangani keamanan, konflik horizontal, serta menjaga jalannya pemerintahan sipil yang masih rapuh.
Polisi masa awal ini, meski dibentuk dari sisa-sisa polisi kolonial dan milisi lokal, dengan cepat diideologisasi menjadi bagian dari perjuangan nasional. Tak heran, banyak dari mereka juga terlibat langsung dalam diplomasi keamanan internasional dan pertempuran fisik melawan agresi militer Belanda.
Era Sukarno: Polisi, Nasionalisme, dan Dilema Otoritas
Memasuki tahun 1950-an, kepolisian Indonesia memasuki masa profesionalisasi awal. Presiden Sukarno melihat polisi bukan sekadar penegak hukum, melainkan elemen simbolik dari negara modern dan merdeka. Dalam banyak pidatonya, Sukarno menekankan pentingnya “karakter bangsa” yang tercermin dalam perilaku aparatnya.
Namun, tak lama berselang, bayang-bayang krisis mulai muncul. Indonesia menghadapi gejolak internal: pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, hingga ketegangan ideologi antara kaum nasionalis, komunis, dan Islamis. Dalam situasi ini, peran polisi menjadi dilematis: menjaga keamanan atau menegakkan garis ideologis negara?
Sebagai respons atas kompleksitas itu, pada 1961 Presiden Sukarno menetapkan Kepolisian sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), berdampingan dengan TNI-AD, AL, dan AU. Maka berubahlah orientasi Polri: dari sipil menjadi semi-militer. Kepala Kepolisian Negara pun mulai memiliki posisi setara menteri.
Langkah ini dianggap banyak pihak sebagai awal dari “militerisasi” polisi. Di satu sisi, hal itu memberi Polri kekuatan struktural dan kejelasan peran dalam sistem keamanan nasional. Namun di sisi lain, ini menjauhkan mereka dari prinsip dasar kepolisian sipil: pelayanan dan perlindungan masyarakat.
Kepolisian Perempuan: Cita-Cita Emansipasi Sukarno
Satu hal yang perlu diingat dari masa Sukarno adalah keberaniannya menciptakan tradisi baru dalam institusi negara. Salah satunya adalah pembentukan Polisi Wanita (Polwan) pada tahun 1948—jauh sebelum banyak negara Asia lainnya memiliki polisi perempuan.
Awalnya, Polwan dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak-anak. Namun lebih dari itu, kehadiran mereka mencerminkan komitmen Indonesia—di bawah Sukarno—untuk menunjukkan bahwa gender bukan hambatan dalam tugas kenegaraan. Meski jumlahnya masih kecil, keberadaan Polwan menjadi simbol penting dari demokratisasi institusi negara pada masa itu.
Orde Baru: Ketika Polisi Menjadi Bayangan Militer
Lompatan dari masa Sukarno ke Soeharto adalah lompatan ideologis dan struktural. Jika pada masa Sukarno Polri berfungsi sebagai bagian dari narasi negara yang sedang mencari jati diri, maka di bawah Orde Baru Polri menjadi alat stabilitas—stabilitas yang dikontrol, diawasi, dan diarahkan sepenuhnya oleh kekuasaan militer.
Undang-undang tahun 1982 dan 1997 menetapkan posisi polisi sebagai bagian dari ABRI secara penuh. Tak hanya dalam hal struktur komando, tapi juga dalam kultur kerja. Polisi menjadi “militer mini” yang fungsinya sering kali tidak lagi membedakan antara musuh negara dan masyarakat biasa.
Pengawasan publik terhadap kinerja polisi hampir tidak ada. Impunitas meningkat. Dalam banyak kasus pelanggaran HAM di masa Orde Baru, polisi dan militer sering bekerja beriringan—atau kadang tumpang tindih—dalam operasi pengamanan politik.
Reformasi 1998: Retorika Baru, Tantangan Lama
Bersamaan dengan runtuhnya Soeharto, agenda reformasi menyentuh hampir seluruh sendi negara—termasuk Polri. Tahun 1999 menjadi titik awal pemisahan polisi dari militer. Ini bukan hanya perubahan teknis, tapi perubahan filosofi: dari militeristik ke sipil.
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 menjadi tonggak hukum baru Polri. Konsep community policing diperkenalkan. Penekanan pada hak asasi manusia dimasukkan dalam pelatihan. Badan pengawas internal seperti Divisi Propam diperkuat. Namun seperti dicatat dalam berbagai laporan, termasuk dari New Zealand Aid (2014), proses reformasi Polri lebih banyak terjadi di permukaan ketimbang dalam budaya organisasi.
Masih banyak laporan kekerasan berlebihan, penyiksaan dalam tahanan, pungli, dan bias penanganan perkara. Akuntabilitas yang dibangun lewat Komisi Kepolisian Nasional dan mekanisme pengaduan publik masih belum optimal. Di sisi lain, tantangan Polri semakin kompleks: terorisme, kejahatan siber, narkotika lintas negara, hingga konflik horizontal yang terus terjadi di daerah.
Masa Kini dan Masa Depan: Polisi dalam Bayang-Bayang Harapan
Kini, lebih dari dua dekade sejak reformasi, publik Indonesia masih memiliki hubungan cinta-benci dengan polisi. Di satu sisi, banyak petugas lapangan yang berintegritas dan bekerja siang malam untuk masyarakat. Tapi di sisi lain, praktik penyalahgunaan wewenang dan korupsi tetap menjadi isu besar.
Generasi baru Polri—banyak di antaranya lulusan universitas, berpikiran terbuka, dan akrab dengan teknologi—harus bergulat dengan warisan struktur lama yang hierarkis dan kadang anti-kritik. Sementara itu, tuntutan masyarakat terhadap keadilan, transparansi, dan profesionalisme makin tinggi.
Pertanyaannya: apakah perubahan sejati bisa terjadi? Apakah Polri bisa membentuk dirinya sebagai polisi rakyat—bukan polisi penguasa?
Akhir Kata: Membangun Polisi Bukan Sekadar Reformasi
Membangun institusi kepolisian bukan hanya soal peralatan, anggaran, atau peraturan baru. Ini adalah tentang membangun budaya. Budaya yang menempatkan rakyat sebagai majikan, dan polisi sebagai pelayan. Budaya yang menghormati hukum bukan karena takut, tapi karena sadar.
Dan untuk Indonesia, negara yang dibangun di atas cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial, itu bukan kemewahan. Itu keharusan.
Referensi:
-
Final Report: Policing in Indonesia – Reformasi, Governance and the International Role, Massey University & Victoria University Wellington, 2014 (New Zealand Aid Programme)
-
Edward Aspinall & Marcus Mietzner, Problems of Democratisation in Indonesia, ISEAS Publishing, 2010
-
Dave McRae, Indonesian Police Reform from the Ground Up, Routledge, 2016
-
International Crisis Group, Indonesia: The Deadly Cost of Poor Policing, 2012
-
Harolds Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Cornell University Press, 1978
Tidak ada komentar