Pasukan Marinir: Penjaga Dua Alam dan Warisan Global yang Tersembunyi

Kharizal Afriandi
0

 

Oleh: Kharizal Afriandi

Di mana laut mencium daratan dengan riuh gelombang dan sunyi pasir pantai, di sanalah prajurit amfibi berdiri. Mereka bukan pelaut sepenuhnya, bukan pula infanteri semata. Mereka adalah pasukan penjaga dua alam — dan mereka selalu siap pertama kali mendarat, serta terakhir kali mundur.




Gerak di Antara Dua Dunia: Apa Itu Pasukan Marinir?

Dalam dunia militer global, hanya sedikit satuan yang mengemban misi sekompleks dan seberani Marinir. Di Amerika Serikat, mereka menyebutnya sebagai the few, the proud. Di Rusia, mereka dikenal sebagai Morskaya Pekhota, para "beruang hitam" yang sanggup berperang di cuaca Arktik. Di Korea Selatan, mereka disebut Haebyeong, pasukan laut yang ditakuti bahkan oleh Korea Utara. Dan di Indonesia, mereka adalah Korps Marinir — pewaris semangat dari pejuang-pejuang Tegal dan para pemberani dalam pertempuran Surabaya.

Pasukan Marinir bukanlah tentara laut yang bisa menembak, atau infanteri darat yang bisa berenang. Mereka adalah prajurit yang doktrin, peralatan, dan jiwanya disiapkan untuk berpindah-pindah dari dek kapal menuju daratan musuh — dengan sangat cepat dan sangat mematikan.


Sejarah Global Marinir: Dari Galley Yunani ke Gudang Senjata Modern

Pada masa Perang Punisia di abad ke-3 SM, pasukan marines Kartago dan Roma menunggangi galai (galley) untuk menginvasi pantai lawan. Mereka bukan hanya pelaut, tetapi pejuang garis depan yang naik kapal untuk bertempur sebelum mesin perang modern ditemukan. Di zaman Kekaisaran Byzantium, marinir dilatih secara khusus untuk boarding, artileri panah, dan peperangan pelabuhan.

Namun transformasi besar terjadi saat era imperialisme Eropa dimulai. Inggris membentuk Royal Marines pada 1664, yang kemudian terlibat dalam berbagai ekspedisi kolonial — dari India hingga Karibia. Mereka menjadi bagian penting dalam gunboat diplomacy, kebijakan luar negeri yang mengandalkan kehadiran militer di pantai-pantai dunia ketiga.

Lompatan terbesar terjadi di abad ke-20. Jepang menggunakan Marinir-nya dalam penaklukan pantai-pantai Cina selama Perang Tiongkok-Jepang. Sementara itu, Jerman membentuk Seebataillone untuk mengamankan koloni Afrika. Namun, titik balik sejarah datang bersama United States Marine Corps (USMC).


Doktrin dan Pendaratan: Revolusi USMC di Pasifik

Saat Perang Dunia II pecah, USMC bukan lagi hanya penjaga kapal. Mereka menjadi ujung tombak pendaratan di pulau-pulau yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Jepang. Doktrin amfibi pun berevolusi drastis: pesawat-pesawat PBY Catalina memberi intelijen pantai, pasukan khusus scout-snipers mengawali invasi dari hutan pesisir, dan tank amfibi LVTs membuka jalan bagi infanteri.

Di Guadalcanal, Iwo Jima, dan Okinawa, Marinir bukan hanya merebut pulau, tetapi juga menghancurkan mitos bahwa invasi laut ke darat adalah misi bunuh diri. Mereka membayar mahal: lebih dari 19.000 tewas di Okinawa saja. Namun taktik dan doktrin mereka ditiru seluruh dunia.

"Uncommon valor was a common virtue," ujar Laksamana Nimitz tentang para Marinir di Iwo Jima — dan kutipan itu abadi.


Era Baru: Dari Invasi ke Intervensi

Setelah Perang Dunia, perang berubah bentuk. Pendaratan besar menjadi langka, digantikan oleh intervensi cepat: Korea, Vietnam, Panama, Teluk Persia. Marinir modern menjadi multi-domain warriors — mampu bertempur di gurun, gunung, kota, hingga rawa.

Kini, unit-unit seperti USMC, British Royal Marines, ROKMC (Korea), dan Forces Spéciales Marines (Prancis) terlibat dalam segala misi: dari kontra-terorisme, bantuan bencana, hingga operasi rahasia. Mereka tetap memegang ciri khasnya: datang dari laut, cepat, dengan ketahanan fisik dan mental tak biasa.


Korps Marinir Indonesia: Lahir di Pusaran Revolusi

Indonesia memiliki sejarah unik yang membedakan Korps Marinir-nya dari negara lain. Mereka bukan dibentuk sebagai alat ekspansi kekaisaran, tetapi lahir dari revolusi mempertahankan kemerdekaan. Pada 15 November 1945, di kota pesisir kecil bernama Tegal, terbentuklah Corps Marinier — bukan dengan tank amfibi, tapi dengan semangat.

Tegal bukan hanya saksi, tapi rahim sejarah. Dari sinilah lahir pejuang yang menyeberangi laut untuk bertempur di darat. Marinir Indonesia pertama bertempur dalam berbagai pertempuran revolusi: Surabaya, Ambarawa, Semarang. Dalam konteks itu, mereka bukan hanya “penjaga dua alam,” tapi penjaga dua masa: masa kolonial yang akan pergi, dan masa republik yang akan lahir.


Evolusi dan Penguatan: Dari KKO ke Kormar

Nama mereka sempat berubah menjadi KKO (Korps Komando Operasi) — cermin dari peran mereka sebagai pasukan elite dan multifungsi. Mereka terlibat dalam:

  • Operasi Trikora (1961): Misi pembebasan Irian Barat.

  • Operasi Dwikora dan Konfrontasi Malaysia.

  • Penumpasan pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, dan G-30-S/PKI.

Kembali menjadi “Korps Marinir” pada 1971, pasukan ini menegaskan diri sebagai kekuatan tempur laut-darat yang profesional dan fleksibel. Mereka memiliki pasukan khusus seperti Denjaka (gabungan Kopaska dan Marinir), yang setara dengan Navy SEAL dalam operasi laut rahasia.


Marinir Indonesia Hari Ini: Penjaga Lautan dan Nurani Bangsa

Dengan tiga Pasmar (Pasukan Marinir) yang tersebar di Jakarta, Surabaya, dan Sorong, Marinir Indonesia menjadi garda strategis untuk penjagaan wilayah kepulauan. Mereka juga:

  • Terlibat dalam misi PBB (Kontingen Garuda).

  • Terlibat dalam respons cepat bencana alam seperti tsunami Aceh dan gempa Lombok.

  • Menjaga pulau-pulau terluar dan perbatasan maritim dari pelanggaran.

Filosofi mereka tetap sama: hadir pertama, bertahan terakhir.

"Tidak ada prajurit hebat, hanya ada prajurit yang terlatih." – Prinsip pelatihan Kolatmar.


Epilog: Menjaga Garis Pantai Masa Depan

Di tengah tantangan geopolitik baru — Laut Cina Selatan, perompakan, perubahan iklim — pasukan Marinir akan memainkan peran lebih besar. Mereka bukan hanya pelindung, tapi simbol ketangguhan bangsa maritim. Dalam kata lain: mereka bukan pasukan masa lalu, tapi penjaga masa depan.

Mereka melangkah di pasir, menatap laut. Mereka tahu, di antara buih ombak dan garis cakrawala, selalu ada misi baru menanti. Dan mereka tidak pernah menolak panggilan itu.


Rekomendasi Bacaan Lanjut

  • With the Old Breed – Eugene Sledge

  • Amphibious Warfare in World War II – Don Taggart

  • Sea Soldiers in the Cold War – Michael Green

  • Tentara Laut Republik Indonesia 1945–1950 – Lembaga Sejarah TNI AL

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default