Breaking News

Dari Surabaya ke Moskwa: 60 Tahun Persahabatan Indonesia–Rusia yang Tak Hanya Soal Politik

 

Dari Surabaya ke Moskwa: 60 Tahun Persahabatan Indonesia–Rusia yang Tak Hanya Soal Politik



Oleh: kharizal afriandi

Saat kita membicarakan hubungan internasional, tak jarang yang terlintas adalah pertemuan formal berbalut jas, perjanjian dagang, atau nota diplomatik. Tapi kisah antara Indonesia dan Rusia bukanlah sekadar deretan angka dan naskah. Ia adalah cerita manusia. Cerita tentang kepercayaan, perjuangan, dan mimpi dua bangsa lintas benua yang saling menyentuh sejak lama—jauh sebelum kita mendengar istilah “kerja sama strategis”.

Jejak Awal di Lautan Tropis

Siapa sangka, kisah ini bermula di lautan. Tahun 1806, kapal Rusia Nadezhda dan Neva melintasi Selat Sunda. Di balik layar, pelukis dan ilmuwan Rusia sibuk mendokumentasikan alam tropis dan kehidupan masyarakat lokal. Bahkan sebelum Indonesia menjadi bangsa, negeri ini telah meninggalkan jejak dalam kesadaran Rusia sebagai tanah eksotis penuh potensi.

Tak lama, datang ilmuwan dan pelaut seperti Miklukho-Maklai dan Voeykov, yang jatuh cinta pada keanekaragaman Indonesia. Mereka bukan hanya tamu, tapi pelajar kehidupan, yang kelak menjadi jembatan pemahaman budaya lintas samudra.

Solidaritas di Masa Revolusi

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dunia belum seratus persen yakin pada eksistensi negeri baru ini. Tapi Uni Soviet—di bawah bendera perjuangan anti-kolonialisme—melangkah lebih dulu. Dukungan diplomatik Moskwa di Dewan Keamanan PBB menjadi suara penting melawan agresi Belanda.

Lebih dari itu, hubungan dengan Presiden Sukarno menjadi bukti bahwa Moskwa dan Jakarta memiliki “chemistry” yang kuat. Sukarno, dengan retorika revolusionernya, menemukan sahabat ideologis di Khrushchev. Dari sanalah lahir babak paling ikonik: kerja sama besar-besaran yang membentuk wajah Indonesia modern.

Stadion Gelora Bung Karno, rumah sakit Persahabatan, reaktor nuklir di Yogyakarta, hingga universitas teknik—semua menjadi saksi sentuhan Rusia dalam pembangunan Indonesia.

Sukarno, Khrushchev, dan Romantika Geopolitik

Kunjungan Sukarno ke Moskwa pada 1956 bukan sekadar seremoni. Itu adalah pelukan hangat dua pemimpin dunia yang punya pandangan sama tentang dunia multipolar. Kedekatan ini bahkan mengundang kekhawatiran Barat—karena Indonesia, negeri kaya sumber daya dan geopolitik strategis, berani menoleh ke Timur di tengah Perang Dingin.

Uni Soviet tak hanya memberi bantuan teknis dan ekonomi, tapi juga membekali Indonesia dengan armada militer untuk menghadapi konflik Papua dengan Belanda. Dalam sejarah Indonesia, itulah satu-satunya momen kita memiliki kekuatan militer laut dan udara yang cukup dominan di Asia Tenggara.

Namun, sebagaimana sejarah mencatat, romantika ini tak bertahan lama.



Saat Musim Dingin Menyelimuti Persahabatan

  1. Indonesia terguncang. Gerakan 30 September, kekacauan politik, dan naiknya Orde Baru membawa arah baru yang berseberangan dengan nilai-nilai lama. Komunisme dilarang. Hubungan dengan Uni Soviet mendingin drastis. Para teknisi Soviet pulang. Proyek-proyek berhenti.

Selama lebih dari satu dekade, Indonesia dan Rusia (pasca runtuhnya Uni Soviet) berada di jalur paralel yang nyaris tak bersinggungan. Tapi sejarah, bagaimanapun, punya caranya sendiri untuk kembali mempertemukan mereka.

Kembali Bertaut di Era Baru

Tahun 2000-an jadi titik balik. Di tengah dunia yang berubah cepat, Indonesia dan Rusia kembali menautkan simpul-simpul yang lama terputus. Tak ada lagi sentimen ideologi—yang ada hanyalah kepentingan bersama.

Rusia mencari mitra yang stabil di Asia Tenggara. Indonesia mencari keseimbangan baru dalam hubungan globalnya. Hasilnya? Kolaborasi di bidang perdagangan, energi, pertahanan, teknologi, pendidikan, hingga budaya mulai menggeliat kembali.

Salah satu simbol paling kuat dari era baru ini adalah kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Moskwa tahun 2003. Seolah mengulang jejak sang ayah, Megawati menandatangani Deklarasi Persahabatan Indonesia–Rusia di abad ke-21. Simbol, ya. Tapi juga strategi jangka panjang.

Mengapa Ini Penting Hari Ini

Dunia sekarang sedang mengalami turbulensi. Blok-blok kekuatan bergeser, perang dagang dan konflik regional meletus di banyak tempat. Di tengah itu, kerja sama yang stabil dan saling menguntungkan menjadi barang langka. Dan di sinilah letak nilai hubungan Indonesia–Rusia: dua negara dengan sejarah panjang, tapi mampu beradaptasi dengan realitas baru tanpa kehilangan rasa saling hormat.

Rusia hari ini melihat Indonesia sebagai mitra yang mandiri, moderat, dan punya peran strategis di Asia Pasifik. Indonesia melihat Rusia sebagai kekuatan global non-Barat yang bisa jadi alternatif mitra strategis—di luar hegemoni lama.

Kerja sama dalam penanggulangan bencana, ekspor alat militer, pengembangan teknologi nuklir sipil, hingga pertukaran pelajar menjadi bagian dari narasi baru hubungan ini. Tak megah seperti zaman Sukarno-Khrushchev, tapi justru matang dan membumi.

Akhirnya, Ini Soal Rasa Percaya

Hubungan internasional sering kali dibingkai lewat kalkulasi rasional. Tapi dalam kisah Indonesia–Rusia, ada emosi, ada sejarah, ada manusia.

Dari Surabaya hingga Vladivostok, dari zaman kolonial hingga revolusi digital, kita menyaksikan dua bangsa yang, meskipun berbeda bahasa dan budaya, terus mencari cara untuk saling menguatkan.

Mereka bukan hanya sekadar dua negara. Mereka adalah dua cerita perjuangan. Dan 60 tahun bukanlah akhir. Ia hanyalah bab berikutnya dalam sebuah kisah yang tak akan selesai ditulis.


🔗 Baca sumber asli artikel resmi dari Rusia di sini:
https://interaffairs.ru/jauthor/material/174

Tidak ada komentar