“Kita telah merdeka!” seru Sukarno pada 17 Agustus 1945. Namun bagi mereka yang bertugas menjaga ketertiban di jalan-jalan kota dan desa—para polisi—kemerdekaan bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru yang penuh ketidakpastian.
Suasana Jakarta pagi itu, 18 Agustus 1945. Di jalan-jalan sekitar Menteng dan Gambir, spanduk Jepang belum sepenuhnya diturunkan. Seragam-seragam militer Jepang masih sesekali terlihat berjalan cepat, mata mereka waspada. Sementara itu, para pemuda baru saja melucuti senjata laskar-laskar Jepang yang masih tersisa. Di tengah semua itu, satu lembaga yang tak begitu banyak disebut dalam euforia proklamasi mulai memantapkan pijakan: kepolisian Indonesia.
Dari Kenpeitai ke Polisi Republik: Sebuah Transisi Sunyi
Sebelum kemerdekaan, Indonesia mengenal kepolisian sebagai alat penjaga tatanan kolonial. Di bawah pemerintah Hindia Belanda, korps polisi disebut Bestuurs Politie atau Politieke Inlichtingen Dienst, bukan untuk melindungi rakyat, tetapi menegakkan hukum kolonial dan memburu lawan politik. Ketika Jepang mengambil alih, mereka membentuk Keisatsutai—unit kepolisian lokal yang ditempa dalam disiplin militer Jepang. Banyak di antara anggotanya adalah pribumi yang direkrut secara selektif, dididik bukan hanya soal patroli dan hukum, tapi juga kesetiaan mutlak kepada kekaisaran.
Namun ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan Sukarno mengumumkan kemerdekaan, para polisi yang dulunya berada dalam struktur Jepang dan Belanda ini menghadapi dilema: kepada siapa mereka setia? Pada negara yang baru lahir? Atau pada kekuatan kolonial yang bisa saja kembali?
Banyak dari mereka, diam-diam atau terang-terangan, mulai mengalihkan loyalitas. Maka lahirlah cikal bakal Polisi Republik Indonesia. Pada 21 Agustus 1945, hanya empat hari setelah proklamasi, dibentuklah Badan Kepolisian Negara yang bertugas langsung di bawah Presiden.
Di Tengah Revolusi: Polisi Menjadi Tentara Sipil
Tapi tak ada kemewahan institusional bagi kepolisian kala itu. Mereka tidak punya barak, tidak cukup senjata, dan belum punya struktur formal yang kokoh. Polisi Indonesia awal pascakemerdekaan adalah sekelompok mantan polisi kolonial yang memutuskan membela republik, dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti RS Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Kepolisian Negara pertama yang diangkat oleh Presiden Sukarno.
Soekanto bukan figur sembarangan. Ia sempat dididik di Sekolah Polisi di Sukabumi dan pernah bekerja di bawah sistem Belanda, tapi juga menyimpan semangat nasionalisme. Ia menyadari bahwa untuk menjadi lembaga sipil yang disegani, polisi tidak boleh menjadi bayangan dari penjajah. Dalam berbagai arsip wawancara tahun 1970-an yang disimpan di Arsip Nasional dan LIPI, Soekanto menyebut bahwa salah satu tantangan terberatnya bukan hanya membentuk struktur kepolisian nasional, tapi menumbuhkan rasa hormat dari rakyat terhadap polisi—yang selama ini dianggap perpanjangan tangan penindas.
Pada masa Revolusi Fisik (1945–1949), polisi harus bertindak laksana pasukan tempur. Mereka ikut angkat senjata bersama TNI, terlibat dalam pertempuran gerilya, sekaligus mengatur lalu lintas dan mengamankan pasar. Tidak ada batas tegas antara sipil dan militer. Di Yogya, yang kala itu menjadi ibu kota republik, markas polisi sering digunakan sebagai pos pertahanan. Beberapa kesatuan bahkan diberi tugas khusus untuk membongkar jaringan mata-mata Belanda.
Polisi dan Rakyat: Relasi yang Berubah Pelan-Pelan
Namun sejarah tidak sepenuhnya heroik. Dalam berbagai laporan pasca-1949 yang ditulis oleh akademisi Belanda seperti Harry Poeze dan Remco Raben, tercatat bagaimana dalam kekacauan revolusi, sejumlah kesatuan polisi juga terlibat dalam tindakan koersif—penangkapan tanpa surat resmi, eksekusi di luar hukum, bahkan keterlibatan dalam “pembersihan” terhadap kelompok-kelompok yang dicurigai anti-republik.
Meski begitu, ada satu hal yang tak bisa dipungkiri: polisi menjadi bagian penting dari narasi perjuangan, bukan hanya karena senjata yang mereka pegang, tapi karena pilihan politik dan etika yang mereka ambil—berpihak pada republik yang baru lahir.
Membangun dari Nol: Pendidikan dan Profesionalisasi
Begitu pengakuan kedaulatan diberikan pada 1949, tantangan berikutnya pun muncul. Bagaimana menjadikan kepolisian sebagai institusi yang profesional, netral, dan mengakar pada hukum, bukan pada kekuasaan politik?
Pendidikan menjadi prioritas. Lahir Sekolah Polisi Negara di berbagai daerah. Buku pedoman dari Inggris dan Belanda digunakan kembali, kali ini untuk menyusun kurikulum baru yang disesuaikan dengan konteks republik. Banyak literatur internasional digunakan—mulai dari sistem kepolisian sipil Prancis hingga konsep community policing dari Inggris. Bahkan, pada 1950-an awal, sejumlah perwira dikirim belajar ke luar negeri.
Namun dilema tetap ada. Sebuah kutipan dari Soekanto dalam wawancara dengan Harian Merdeka tahun 1954 menegaskan: “Polisi tidak boleh menjadi kaki tangan kekuasaan. Polisi harus berpihak pada hukum. Tapi hukum itu harus milik rakyat, bukan segelintir penguasa.”
Sayangnya, idealisme ini perlahan-lahan berbenturan dengan kenyataan politik, terutama ketika rezim Orde Lama menguat dan peran kepolisian kembali ditarik ke dalam pusaran kekuasaan negara.
Kilas Balik: Di Jalan-jalan yang Berdebu Itu
Sejarah polisi Indonesia bukan hanya soal seragam atau pangkat. Ia adalah kisah tentang transisi, dilema, dan pilihan-pilihan moral dalam zaman penuh gejolak. Dari mantan polisi Jepang yang kini memegang bendera merah putih, dari kantor polisi sederhana di Jogja yang dijadikan markas perjuangan, hingga idealisme Soekanto yang bergaung pelan tapi tak padam—semuanya adalah kepingan dari perjalanan panjang menjaga ketertiban di negeri yang baru lahir.
Di balik senyum para polisi lalu lintas hari ini, ada jejak-jejak sejarah yang tak terlihat. Tentang hari-hari ketika mereka bukan hanya menjaga simpang jalan, tapi juga menjaga nasib republik muda yang rapuh.
Referensi dan Bacaan Tambahan:
-
David Bayley, Changing the Guard: Developing Democratic Policing Abroad (Oxford University Press, 2006)
-
Michael R. Anderson & David Killingray (eds), Policing the Empire: Government, Authority and Control, 1830–1940
-
Soekanto Tjokrodiatmodjo, Memoar Polisi Republik, Arsip Nasional Republik Indonesia
-
Harry Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600–1950
-
Remco Raben, “Decolonizing the Police: Security and Order in Indonesia, 1945–1950”
-
Berbagai arsip Harian Merdeka, 1945–1954
-
Arsip Sekolah Polisi Sukabumi, Kementerian Dalam Negeri RI