Breaking News

Sukarno dalam Cermin Dunia: Api, Luka, dan Cinta untuk Bangsa

 

Sukarno dalam Cermin Dunia: Api, Luka, dan Cinta untuk Bangsa


🔥 Api yang Terbentuk dari Luka dan Mimpi

Sukarno. Nama ini sering kali berdiri sendiri, seperti monumen. Ia adalah proklamator, orator, dan pejuang tak kenal lelah. Namun seiring waktu, kita—bangsanya sendiri—mungkin mulai mengenangnya lebih sebagai simbol ketimbang manusia. Sebuah wajah di dinding sekolah, sebuah kutipan dalam pidato kenegaraan.

Tapi apa jadinya jika kita mencoba melihatnya bukan hanya dari dalam negeri—melainkan dari sudut pandang luar? Apa yang dilihat dunia tentang Sukarno yang mungkin kita lupakan?

Dua buku yang sangat berbeda mengantar kita dalam perjalanan ini:

  1. “Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams” (1965) — suara Sukarno sendiri, penuh gairah, penuh warna.

  2. “Sukarno’s Kampf um Indonesiens Unabhängigkeit” (1951) karya Heinrich K. Krieger — sebuah buku langka berbahasa Jerman, ditulis oleh orang asing yang terpesona oleh perjuangan Indonesia.

Dan justru di antara keduanya, kita menemukan sesuatu yang menyentuh: manusia bernama Sukarno.


Ketika Dunia Melihat Sukarno

Heinrich Krieger adalah seorang peneliti Jerman yang menulis “Sukarno’s Kampf…” tak lama setelah Indonesia merdeka. Bagi Krieger, Sukarno bukan hanya tokoh lokal — dia adalah representasi perlawanan dunia terhadap kolonialisme. Dalam tulisannya, Sukarno bukan hanya pemimpin Indonesia. Ia adalah suara dari Asia, dari bangsa-bangsa yang selama ini dibungkam oleh Barat.

Krieger menulis dengan kekaguman. Ia menyebut Sukarno bukan hanya sebagai pemimpin politik, tetapi “simbol dunia baru yang lahir dari luka penjajahan”. Namun Krieger juga tidak menutup mata terhadap paradoks Sukarno: karismanya luar biasa, tetapi pendekatan politiknya kadang penuh risiko.

Dari luar Indonesia, Sukarno terlihat seperti api—kadang menghangatkan, kadang membakar.


📖 Suara dari Dalam: Sukarno Bercerita pada Cindy Adams

Sebaliknya, dalam otobiografinya bersama Cindy Adams, Sukarno membuka sisi paling pribadinya. Ia bercerita tentang masa kecilnya, masa-masa diasingkan, hingga bagaimana ia merancang kemerdekaan bukan di ruang parlemen, tapi di tengah tekanan penjajahan.

Ia tidak hanya bercerita tentang politik, tapi juga perasaan: tentang betapa ia menangis saat mendengar lagu Indonesia Raya pertama kali; tentang rasa frustrasi menghadapi kaum elite yang tidak mengerti suara rakyat; dan tentang cintanya pada rakyat kecil yang disebutnya "sumber revolusi sejati".

Cindy Adams menulis dengan nada kagum, tapi juga jujur. Kadang Sukarno terdengar seperti pemimpin besar, kadang seperti anak muda yang masih belajar mencintai bangsanya sendiri.


Cermin Ganda: Sukarno yang Kita Kenal dan Sukarno yang Dunia Lihat

Apa yang terjadi ketika dua pandangan ini kita sandingkan?

  • Di satu sisi, dunia melihat Sukarno sebagai ikon pembebasan.

  • Di sisi lain, Sukarno sendiri menyampaikan bahwa ia hanyalah manusia biasa yang terlalu mencintai bangsanya.

Sukarno di mata Krieger terlihat tegas, strategis, ideologis.
Sukarno dalam kisahnya sendiri terlihat penuh gejolak, penuh rasa, penuh luka dan cinta.

Dan justru di tengah kontras itu, kita menemukan kemanusiaan Sukarno.


🎭 Sukarno: Antara Mitos dan Manusia

Kita, bangsa Indonesia, sering terjebak dalam dua ekstrem:

  • Mengkultuskan Sukarno tanpa memahami perjuangannya yang sebenarnya,

  • Atau, mencemooh masa pemerintahannya tanpa melihat bahwa ia menanggung beban sejarah yang tak main-main.

Kita lupa bahwa Sukarno bukan dewa, juga bukan penjahat. Ia adalah produk zamannya. Seorang pria yang dibentuk oleh penjajahan, dipahat oleh pengasingan, dan dibakar oleh cinta yang terlalu besar pada bangsanya.

Jika kita membaca Krieger, kita melihat bagaimana dunia mengagumi api Sukarno.
Jika kita membaca Adams, kita mendengar langsung gemetar suara api itu sendiri.

Dan jika kita membacanya bersamaan, kita mungkin akhirnya bisa berdamai dengan fakta bahwa Sukarno adalah manusia—dan justru karena itulah dia besar.


Apa yang Bisa Kita Pelajari Hari Ini?

  1. Lihat sejarah dari banyak sudut pandang. Kadang, sudut pandang asing justru memberi kejelasan yang tak kita sadari.

  2. Bangun narasi sejarah yang manusiawi. Jangan hanya mengutip, pahami latar belakangnya.

  3. Jangan hanya bangga dengan Sukarno, tapi pahami apa yang ia perjuangkan. Keberanian berpikir berbeda, mencintai rakyat tanpa syarat, dan melawan ketidakadilan dengan kata-kata yang menusuk.


📚 Penutup: Membaca Ulang dengan Hati

Sukarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.”
Tapi mungkin yang lebih penting: bangsa yang besar adalah bangsa yang berani memahami tokohnya sebagai manusia, bukan hanya simbol.

Dari Krieger kita belajar bagaimana dunia melihat Sukarno.
Dari Adams, kita tahu bagaimana Sukarno melihat dirinya sendiri.
Dari keduanya, mari kita belajar bagaimana kita seharusnya melihat Sukarno—dengan jujur, dengan hangat, dan dengan rasa hormat yang mendalam.

Tidak ada komentar