Che Guevara: Mitos, Manusia, dan Luka yang Tak Pernah Sembuh
Oleh: Kharizal Afriandi
Pagi itu sunyi.
Layar laptop menyala, kursor berkedip pelan di lembar kosong. Satu nama terlintas dalam benak saya, begitu kuat hingga terasa seperti bisikan lama yang tak pernah benar-benar hilang: Ernesto "Che" Guevara.
Menulis tentang Che bukan untuk mengejar sensasi. Bukan pula karena ia sedang tren. Tapi karena ia adalah cermin retak: merefleksikan keberanian, kebingungan, idealisme, dan kegagalan manusia dalam satu bingkai wajah. Sebuah wajah yang ironisnya, kini lebih dikenal daripada hidup yang pernah ia jalani.
Wajah dalam Poster, Jiwa dalam Kabut
Kita mengenalnya dari kaos murah di pasar malam, dari mural yang memudar di tembok-tembok kampus, dari kutipan yang diketik ulang tanpa tahu konteks. Tapi Che bukan sekadar simbol. Ia adalah cerita panjang—tentang keyakinan yang tak kompromi, tentang keberanian yang sering kali buta, dan tentang luka yang terus menganga di tubuh sejarah Amerika Latin.
Bagi saya, Che bukan hanya figur revolusioner. Ia adalah pertanyaan.
Motor, Asma, dan Sebuah Keputusan
Ernesto Guevara lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928. Ia bukan anak petani miskin atau buruh tambang. Ia berasal dari keluarga borjuis yang berpikiran progresif. Ayahnya, Ernesto Guevara Lynch, mengatakan dalam sebuah wawancara:
“Kebenaran adalah bahwa dalam darah nadi anak saya mengalir darah pemberontak Irlandia.”
(Kutipan dari wawancara dengan ayah Che oleh Jon Lee Anderson, “Che Guevara: A Revolutionary Life,” 1997)
Tahun 1951, Che memulai perjalanan ikonik bersama sahabatnya Alberto Granado. Mereka naik motor tua—La Poderosa II—melintasi Andes, melihat langsung kemiskinan dan ketidakadilan dari Argentina hingga Kolombia. Dari rumah kusta hingga kamp tambang, ia mencatat semuanya dalam buku hariannya.
“Saya mulai menyadari bahwa apa yang saya pelajari tidak cukup untuk mengubah kenyataan yang saya lihat. Saya ingin menjadi sesuatu yang lebih dari seorang dokter. Saya ingin menjadi penyembuh bagi seluruh ketidakadilan.”
(Che Guevara, “Notas de Viaje,” 1995 / “The Motorcycle Diaries,” Versi Inggris)
Dalam perjalanan itu, ia tidak hanya melihat dunia—ia mulai merasakan luka-lukanya.
Dari Hutan ke Istana: Revolusi di Kuba
Pertemuannya dengan Fidel Castro di Meksiko tahun 1955 adalah momen yang mengubah sejarah. Che bergabung dengan pasukan gerilya dan menjadi salah satu tokoh kunci dalam kemenangan Revolusi Kuba. Ia bertarung dari barisan depan, dan setelah kemenangan, justru mengejutkan banyak pihak dengan memilih memimpin bidang-bidang ekonomi.
Saat menjabat sebagai Presiden Bank Sentral Kuba, Che menandatangani uang kertas hanya dengan nama kecilnya, "Che"—sebuah isyarat ketidaksukaan pada formalitas kekuasaan. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Ia ingin dunia berubah, bukan duduk di balik meja.
“Kita tidak boleh berdiam diri di negeri yang telah merdeka sementara dunia ini masih penuh dengan penderitaan.”
(Che Guevara, dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, 11 Desember 1964)
Misi Gagal dan Kematian di Bolivia
Che meninggalkan Kuba, pergi ke Kongo untuk mendukung gerakan pembebasan, lalu ke Bolivia untuk menyulut revolusi baru. Di sana, ia menghadapi kondisi yang lebih keras: minim dukungan lokal, isolasi, dan pengkhianatan. Akhirnya ia ditangkap dan dieksekusi pada 9 Oktober 1967 oleh tentara Bolivia atas instruksi CIA.
Kata-kata terakhirnya kepada algojonya, Mario Terán, begitu manusiawi, tak mengandung kemarahan, justru pengingat:
“Tembaklah. Kau hanya akan membunuh seorang pria.”
(Dikutip dari Jon Lee Anderson, “Che Guevara: A Revolutionary Life,” 1997)
Tubuhnya disembunyikan selama hampir tiga dekade. Tapi citranya? Ia hidup lebih kuat dari sebelumnya.
Ikon atau Ilusi?
Che sering diringkas menjadi ikon anti-kapitalis. Ironisnya, citranya dijual bebas di pasar kapitalis. Tapi siapa dia sebenarnya?
Ia percaya pada revolusi bersenjata. Ia menulis dalam Socialism and Man in Cuba (1965):
“Revolusi adalah sesuatu yang harus digerakkan oleh cinta yang mendalam terhadap umat manusia.”
(“At the risk of seeming ridiculous, let me say that the true revolutionary is guided by great feelings of love.”)
Tapi cinta seperti apa yang menuntun seseorang untuk juga menjustifikasi eksekusi tanpa pengadilan? Di inilah tarik-ulur Che—ia penuh empati dan sekaligus penuh kemarahan. Seorang pemimpi yang rela menjadi algojo. Sebuah kontradiksi yang tak bisa ditutupi.
Refleksi Bagi Zaman Kita
Mengapa kita masih harus bicara tentang Che?
Karena ia bukan sekadar sejarah. Ia adalah pengingat bahwa ketidakadilan masih nyata. Ia memaksa kita mempertanyakan: apakah kita masih memiliki idealisme, atau hanya sibuk membangun citra?
Ia tidak selalu benar. Tapi ia tulus. Ia menolak menjadi penonton di dunia yang membusuk. Dan meski jalannya penuh kekeliruan, ia berjalan dengan tekad yang sulit dicari hari ini.
Akhir yang Tidak Pernah Benar-Benar Selesai
Saya tak menulis artikel ini untuk menyanjung Che. Tapi untuk mendengar ulang—dari balik poster dan mitos—suara seorang manusia yang percaya bahwa dunia bisa lebih adil.
Mungkin, kita butuh mendengarnya kembali. Bukan karena ia sempurna. Tapi karena ia berani, saat banyak dari kita memilih diam.
“Setiap hari harus menjadi perjuangan bagi revolusi. Jika kita tidak mampu merasakan getaran kemarahan saat melihat ketidakadilan di belahan dunia mana pun, kita tidak layak disebut manusia.”
(Che Guevara, pidato di Havana, 1965)
Referensi Akurat dan Kutipan Asli:
-
Jon Lee Anderson, Che Guevara: A Revolutionary Life, 1997, Grove Press.
-
Ernesto Guevara, Notas de Viaje (The Motorcycle Diaries), Ocean Press, 1995.
-
Ernesto Guevara, Socialism and Man in Cuba, 1965.
-
Pidato Che Guevara di Majelis Umum PBB, New York, 11 Desember 1964.
-
Archivo Nacional de Cuba – pidato publik dan catatan pribadi Che.
-
CIA Declassified Files on Operation Felix & Che Guevara’s Execution.
Tidak ada komentar