PSI Jejak yang Terhapus: Ketika Sosialisme dan Nurani Pernah Memandu Indonesia

Kharizal Afriandi
0

 

Di antara hiruk-pikuk revolusi dan kepulan asap pertempuran pasca-kemerdekaan, lahirlah sebuah partai yang tidak mengandalkan teriakan massa atau kekuatan senjata—melainkan akal sehat, kesantunan, dan keberanian moral. Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang didirikan oleh Sutan Sjahrir tahun 1948, bukan hanya partai politik. Ia adalah percobaan berani menciptakan demokrasi yang berpijak pada nalar dan hati nurani.



Sosialisme yang Membaca, Bukan Mengancam

Sutan Sjahrir—bukan jenderal, bukan orator massa—lebih memilih membaca Thomas Mann daripada berdebat di jalanan. Ia menulis pamflet Perdjoeangan Kita pada akhir 1945 bukan untuk membakar amarah, tetapi untuk meyakinkan dunia bahwa Indonesia bukan sekadar negara yang marah, tetapi bangsa yang berpikir.

Sjahrir mempercayai bahwa sosialisme Indonesia harus lahir dari nilai-nilai manusiawi, bukan dari dogma atau paksaan. Ia menolak totalitarianisme, entah dari kanan atau kiri. Sosialismenya adalah sosialisme yang bertanya, bukan memaksa. Ia percaya pada evolusi sosial, bukan revolusi berdarah.


Lahirnya PSI: Ketika Intelektual Masuk ke Ruang Politik

Ketika Sjahrir pecah kongsi dengan Amir Sjarifuddin akibat perbedaan jalan, ia memilih jalannya sendiri. 12 Februari 1948, PSI didirikan oleh sekelompok orang muda, cerdas, dan percaya bahwa demokrasi bukan barang mewah untuk negara miskin. PSI menjadi rumah bagi mereka yang tak ingin memilih antara militerisme dan komunisme—yang percaya pada pembangunan lewat pemikiran, bukan propaganda.

PSI bukan partai massa. Basisnya ada di kampus, ruang redaksi, kantor birokrasi muda, dan diskusi malam hari di rumah-rumah para idealis. Harian Pedoman menjadi suara resminya. Tapi justru karena itulah, PSI sulit diterima oleh desa dan pasar. Mereka terlalu berpikir, terlalu halus, terlalu kota.


Gagal Menjadi Besar, Tapi Tidak Pernah Kecil

Dalam Pemilu 1955, PSI hanya meraih sekitar 2% suara nasional. Tapi dari parlemen, PSI bersuara lebih keras daripada banyak partai besar. Mereka menolak korupsi, menentang pembungkaman demokrasi, dan mengkritik politik satu suara yang mulai dibangun Sukarno.

Di balik sorotan, para tokoh PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, dan Sutan Takdir Alisjahbana membentuk fondasi baru: perencanaan ekonomi, diplomasi modern, pendidikan politik. Dalam sunyi, mereka menanam benih demokrasi rasional yang akan mekar puluhan tahun kemudian.


PRRI, Pembungkaman, dan Hilangnya Jejak

Ketika Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan di Bukittinggi pada Februari 1958, banyak pihak di Jakarta melihatnya sebagai pemberontakan terhadap negara. Namun kenyataannya jauh lebih kompleks. Beberapa tokoh PSI—terutama ekonom Sumitro Djojohadikusumo—memang tercatat bergabung dalam kabinet PRRI. Tapi yang sering dilupakan adalah bahwa PSI sebagai partai secara resmi tidak pernah mendukung gerakan ini. Bahkan, Fraksi PSI di parlemen secara terbuka menolak PRRI dan menyatakan bahwa Sumitro bertindak secara pribadi tanpa mandat partai. Keputusan ini tidak menyelamatkan PSI. Dalam situasi politik yang semakin keras di bawah Sukarno, keterlibatan beberapa tokoh PSI dalam PRRI cukup dijadikan dalih untuk menekan dan pada akhirnya membubarkan partai ini. Padahal, PSI justru sedang berjuang membuktikan bahwa mereka adalah partai legal yang setia pada jalur konstitusional.

Pasca pemberontakan PRRI ditumpas oleh militer, pemerintah pusat melakukan pembersihan terhadap lawan-lawan politik yang dianggap tidak sepenuhnya loyal terhadap konsep Demokrasi Terpimpin. PSI berada dalam posisi genting: terlalu kecil untuk menekan, tapi terlalu keras kepala untuk tunduk. Pada 17 Agustus 1960, melalui Keputusan Presiden, PSI resmi dibubarkan bersama Masyumi. Tidak ada pengadilan, tidak ada klarifikasi, hanya sebuah penghapusan dari panggung sejarah. Banyak tokoh PSI yang kemudian menghilang dari kehidupan publik: ada yang diasingkan, ada yang memilih diam, dan ada pula yang perlahan kembali ke dunia akademik dan pemikiran. Sutan Sjahrir sendiri telah lebih dahulu ditangkap pada 1962 dan dibuang ke pengasingan tanpa proses hukum hingga ia wafat pada 1966 dalam kondisi sakit.

Dalam ingatan kolektif bangsa, PRRI dan pembubaran PSI sering dibicarakan dalam satu napas, seakan keduanya adalah kesatuan. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah pembungkaman terhadap sebuah alternatif politik yang mencoba menawarkan jalan ketiga—sebuah sosialisme yang demokratis, rasional, dan manusiawi. PSI menjadi korban dari narasi kekuasaan yang tidak memberi ruang bagi oposisi intelektual. Mereka bukan pemberontak bersenjata, melainkan pemberontak dalam pikiran dan argumen. Dan mungkin justru karena itulah, mereka dianggap lebih berbahaya oleh rezim yang tak lagi percaya pada kekuatan wacana. Sejak saat itu, jejak PSI perlahan memudar, bukan karena gagal, tapi karena sengaja disingkirkan dari narasi resmi sejarah Indonesia.


Warisan yang Tidak Pernah Usang

PSI bukan partai yang menang pemilu. Tapi ia adalah partai yang mengingatkan kita bahwa politik bisa dijalani tanpa kebencian, tanpa kultus individu, tanpa jargon kosong. Bahwa intelektual punya tempat di republik ini—walau seringkali dipinggirkan.

Hari ini, nama PSI mungkin hanya dikenal sebagai partai baru dengan nama serupa, tetapi sejarahnya nyaris hilang dalam buku pelajaran. Padahal di balik nama itu pernah hidup sebuah gagasan besar: bahwa menjadi Indonesia tidak harus berarti memilih antara kekuasaan dan kekacauan, tapi bisa berarti memilih kebijaksanaan dan keberanian berpikir sendiri.


Penutup: Apa yang Ditinggalkan Sjahrir

Sjahrir wafat dalam pengasingan. Tapi di ruang sepi itu, ia tetap membaca. Ia tetap menulis. Ia tetap percaya bahwa suatu hari, bangsanya akan menyadari bahwa kemerdekaan tidak cukup hanya diperjuangkan—ia harus dipelihara dengan nalar, empati, dan keberanian untuk berbeda.

Dan mungkin, dalam keheningan sejarah, suara kecil PSI masih bergema: bahwa politik bukan hanya tentang menang—tetapi tentang menjadi manusia yang tetap waras ketika semua orang mulai kehilangan akal.


📚 Referensi dan Riset:

  • Pradipto Niwandhono (University of Sydney, 2021), Sutan Sjahrir and the Intellectual Struggle in Postcolonial Indonesia

  • Priyonggo dkk. (Universitas Diponegoro), Peran PSI pada Era Demokrasi Liberal Indonesia (1950–1959)

  • Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200

  • Artikel editorial: The Jakarta Post, Historia.id, Encyclopaedia Britannica, Fulcrum SG Institute

  • Arsip Perdjoeangan Kita, Harian Pedoman, dan dokumen PRRI

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default