Jejak Fleur-de-Lis di Tanah Zamrud: Menguak Kisah Prancis di Nusantara
Di antara lembayung rempah dan irama gamelan yang bergema sepanjang garis khatulistiwa, ada kisah tak kasatmata yang mengendap dalam bayang-bayang sejarah Indonesia: kisah tentang Prancis. Jika Belanda dan Inggris adalah tokoh utama dalam panggung kolonial di Nusantara, maka Prancis hadir sebagai tokoh bayangan—tidak mendominasi, namun menorehkan jejak yang halus, tak terhapuskan.
Dalam gulungan peta tua, catatan kapal, surat-surat diplomatik yang tersimpan di arsip kota Aix-en-Provence hingga sudut sepi Bibliothèque nationale de France di Paris, kita menemukan fragmen kisah Prancis di Nusantara—kisah tentang ambisi, sains, kebudayaan, dan manusia-manusia yang datang jauh dari Eropa, mencari kejayaan dan terkadang, pengertian.
Aspirasi dari Istana Versailles
Segalanya bermula dari Raja Louis XIV. Pada tahun 1664, di bawah panji kemegahan absolutisme, ia mendirikan Compagnie française des Indes orientales—versi Prancis dari VOC. Prancis menatap ke Timur, ke samudra yang menjanjikan emas hijau bernama rempah. Tapi seperti seorang pelukis yang kehilangan kanvas, Prancis tiba di panggung kolonial ketika para pesaingnya sudah menari.
Di masa-masa awal, usaha dagang Prancis di sekitar Samudra Hindia—terutama di Mauritius dan Réunion—lebih sukses daripada di kepulauan Indonesia. Prancis belum menemukan pijakan di tengah persaingan Belanda dan Inggris yang telah merasuk dalam urat nadi pelabuhan-pelabuhan lokal. Namun, ini bukan akhir cerita. Dalam sejarah, waktu selalu memberi ruang untuk episode berikutnya.
Jejak Napoleon di Tanah Jawa
Revolusi Prancis mengubah segalanya. Ketika republik berdiri dan kekaisaran bangkit bersama Napoleon Bonaparte, seluruh lanskap Eropa bergejolak. Di tengah pusaran itu, Belanda berubah menjadi negara satelit Prancis. Maka, secara tidak langsung, jajahan Belanda—termasuk Hindia Belanda—ikut masuk dalam orbit pengaruh Prancis.
Lalu muncullah nama Herman Willem Daendels. Seorang revolusioner, jenderal, dan administrator yang dikirim ke Jawa oleh Louis Bonaparte, saudara Napoleon yang menjabat sebagai Raja Belanda. Tugas Daendels sederhana, namun sulit: mempertahankan Jawa dari Inggris dan membawa modernitas Prancis ke tanah tropis.
Daendels tidak datang sebagai penjaga status quo. Ia membawa semangat perubahan: membangun sistem hukum baru, memperbarui birokrasi, mengatur keuangan, dan—yang paling dikenang—membangun Jalan Raya Pos dari Anyer ke Panarukan. Jalan itu bukan hanya soal logistik militer; ia adalah metafora ambisi Prancis di tanah asing. Tapi kemegahan itu datang dengan harga. Ribuan orang pribumi dipaksa bekerja tanpa upah, banyak yang tak kembali ke rumah.
Ketika Seragam Militer Berkiblat ke Paris
Di balik gagahnya jalan dan benteng, Prancis menyusup lebih dalam ke dalam struktur kolonial. Seragam tentara diubah menyerupai militer Napoleon. Bahasa komando diubah. Pengaruh Code Napoléon mulai terasa dalam sistem hukum, meskipun belum sepenuhnya diterapkan. Sistem sentralisasi kekuasaan perlahan mengikis otoritas lokal dan kerajaan-kerajaan kecil di Jawa.
Daendels bukan sekadar administrator. Ia adalah simbol transposisi ide-ide revolusioner Prancis ke dalam tanah yang tak pernah mengenal musim dingin. Ia ingin menjadikan Jawa bagian dari mesin kekaisaran global. Tapi sejarah punya rencana lain.
Kekalahan dan Keheningan
Pada tahun 1811, pasukan Inggris menyerbu Jawa dan menggulingkan kekuasaan Daendels. Hanya tiga tahun kemudian, Napoleon sendiri dikalahkan di Eropa. Semua ambisi Prancis di Asia Tenggara berakhir tanpa gemuruh, hanya tinggal fragmen di kertas-kertas tua.
Namun yang tak kasatmata sering kali yang paling bertahan lama. Beberapa reformasi Daendels bertahan hingga masa kolonial Belanda berikutnya, bahkan menjadi dasar beberapa aspek sistem hukum dan birokrasi Indonesia modern.
Jejak yang Lembut: Ilmu Pengetahuan dan Budaya
Setelah senjata diam, pena mengambil alih. Ilmuwan dan naturalis Prancis mulai menjelajah Nusantara. Di tengah konflik kolonial, mereka menemukan keindahan yang tak ternilai dalam flora, fauna, dan budaya Indonesia.
Pada awal abad ke-20, datanglah Louis-Charles Damais. Seorang filolog dan pencinta musik Jawa yang menjadi salah satu penghubung penting antara kebudayaan Prancis dan Indonesia. Ia tidak datang untuk menguasai, tapi untuk memahami. Di tangan Damais, Prancis tak lagi hadir sebagai kekuatan, melainkan sebagai pengagum.
Zaman Baru, Jembatan Baru
Pada era kemerdekaan, Prancis membentuk hubungan baru dengan Indonesia, kali ini dalam ranah diplomasi budaya. Berdirilah pusat-pusat kebudayaan Prancis di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung. Kini dikenal sebagai Institut Français d’Indonésie, lembaga ini menjadi jembatan untuk pertukaran bahasa, film, seni rupa, dan diskusi intelektual antara dua bangsa.
Melalui bahasa, sastra, dan seni, Prancis menemukan tempat baru di Indonesia—bukan di pelabuhan atau benteng, tapi di ruang kelas dan galeri.
Refleksi: Sejarah yang Tidak Binar
Jika kita menelusuri jejak Prancis di Indonesia hanya lewat parameter kolonialisme, kita akan kecewa. Prancis tidak membangun kekaisaran besar di sini. Tapi sejarah bukan hanya soal dominasi. Sejarah adalah tentang pertemuan: antara niat dan realitas, antara kekuatan dan kelembutan, antara ambisi dan penerimaan.
Jejak Prancis di Nusantara adalah jejak-jejak samar di pasir pantai—mudah hilang, namun tak pernah benar-benar lenyap. Dalam bahasa hukum, dalam sistem jalan raya, dalam apresiasi seni dan kebudayaan, dalam dialog antarbangsa, jejak itu tetap hidup.
Di dunia yang kian terhubung, kita punya kesempatan untuk meninjau kembali bab-bab sejarah yang jarang dibuka. Untuk membaca ulang kisah Prancis di Indonesia bukan sebagai catatan kaki kolonialisme, tetapi sebagai bagian dari perjalanan kolektif umat manusia dalam memahami satu sama lain.
Akhir kata, Fleur-de-lis memang tak berkibar tinggi di tanah zamrud. Tapi ia sempat menyentuh bumi kita, meninggalkan kilasan cerita yang layak didengar, dihayati, dan diteruskan. Bukan sebagai kejayaan, tapi sebagai pelajaran tentang bagaimana dunia saling bertemu—seringkali dalam cara yang tak terduga.
Tidak ada komentar