Breaking News

Bayang-Bayang Samudra: Jejak Amerika dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Oleh: Kharizal Afriandi

Pendahuluan: Di Antara Lautan dan Kekuasaan

Ketika sejarah ditulis dengan tinta kekuasaan, maka suara-suara kecil di antara celah peristiwa sering kali tertinggal, menguap di sela lembaran buku sejarah resmi. Indonesia—sebuah negara kepulauan yang dibentuk oleh samudra, kesultanan, kolonialisme, dan revolusi—menyimpan begitu banyak persinggungan yang tidak kasat mata dengan kekuatan-kekuatan dunia. Salah satunya, yang sering kali tidak menempati halaman depan buku pelajaran, adalah jejak Amerika Serikat di tanah Nusantara.



Sejak zaman pelayaran dagang, sebelum Indonesia mengenal kata kemerdekaan, Amerika telah mengarungi samudra Pasifik dan singgah di pelabuhan-pelabuhan Timur. Tidak dengan invasi seperti Jepang, atau kekuasaan kolonial seperti Belanda, tetapi dengan cara yang lebih senyap—diplomasi, kontrak dagang, pengaruh ideologis, dan di kemudian hari, operasi intelijen. Kisah ini adalah tentang bagaimana dua dunia yang berbeda—Amerika, dengan obsesinya pada kebebasan dan pasar bebas, dan Indonesia, dengan perjuangan identitas dan kemerdekaannya—bertemu dalam simpul-simpul sejarah yang mengguncang.


Batavia dan Jejak Konsul dari Dunia Baru (1801)

Tahun 1801. Dunia masih dalam guncangan Perang Napoleon. Nusantara masih di bawah bayang-bayang VOC dan Hindia Belanda, yang saat itu menjadi simpul penting dalam jalur perdagangan global. Di pelabuhan Batavia yang lembap dan penuh aroma cengkeh, seorang pria Amerika bernama Thomas Hewes tiba sebagai perwakilan resmi pemerintah Amerika Serikat.

Ia diangkat sebagai Konsul AS pertama di Batavia—tanda awal hubungan formal antara negeri revolusioner itu dengan koloni Hindia Timur. Amerika saat itu masih muda, namun punya ambisi besar di bidang perdagangan. Para pelaut dari Boston dan Salem telah sejak lama menjajaki rute ke Asia, dan Nusantara adalah surga rempah yang menggoda.

Dalam arsip Departemen Luar Negeri AS disebutkan: “The presence of American traders in the East Indies necessitated the appointment of a consular agent in Batavia.” Ini bukanlah pertemuan dua bangsa, karena Indonesia belum menjadi bangsa, tetapi ini adalah awal dari keterhubungan lintas samudra, yang kelak akan berakar jauh ke dalam struktur kekuasaan dan sejarah bangsa ini.


Diplomasi Aceh dan Kesepakatan yang Tak Pernah Terjadi (1873)

Di ujung barat Nusantara, Kesultanan Aceh Darussalam tengah berjuang menjaga kedaulatan menghadapi kolonialisme Belanda. Di tengah ancaman invasi, Sultan Aceh mengutus duta-dutanya ke Singapura—koloni Inggris yang menjadi simpul diplomasi Asia Tenggara.

Di sana, mereka bertemu dengan Konsul Amerika Serikat. Dalam upaya yang penuh harapan, pihak Aceh meminta perlindungan diplomatik dari AS. Mereka berharap Amerika, negeri yang bangga dengan prinsip kebebasan dan anti-kolonialisme, akan memberikan bantuan atau minimal jaminan netralitas.

Namun sejarah tidak berjalan seperti harapan. Amerika menolak permintaan itu. Dalam memoar diplomatik disebutkan bahwa AS “had no interest in antagonizing the Dutch Empire over a remote Islamic sultanate.” Namun momen ini menjadi simbol: bahkan di masa sebelum kemerdekaan, Indonesia telah mencoba membangun poros kekuatan alternatif melawan kolonialisme, dan Amerika—meski tak sepenuhnya hadir—ada dalam ruang negosiasi itu.


Irian Barat, Kennedy, dan Peta Geopolitik yang Bergeser (1960–62)

Sukarno sedang berada di puncak kekuatannya. Dengan gaya retorik yang membakar dan visi politik dunia ketiga yang independen, ia menantang dominasi Barat, sembari menjalin hubungan dekat dengan Uni Soviet dan Tiongkok. Di sisi lain, Belanda masih mempertahankan Irian Barat (Papua) sebagai bagian dari kerajaannya.

Amerika, dalam masa kepresidenan John F. Kennedy, melihat situasi ini sebagai krisis. Dalam dokumen National Security Archive tahun 2001 disebutkan: “Kennedy did not support Indonesia's claims out of affection. He did so because he feared losing Indonesia to the Communists.” Maka dengan serangkaian tekanan diplomatik dan lobi melalui PBB, AS mendorong agar Belanda menyerahkan wilayah itu kepada Indonesia.

Bagi Sukarno, ini adalah kemenangan. Namun kemenangan yang dibarter. Sebab, dengan tangan lain, AS mulai membina kedekatan dengan militer Indonesia. Irian Barat menjadi titik balik: Indonesia secara diam-diam diarahkan untuk menjauh dari Blok Timur. Sebuah negosiasi yang dalam sejarah Indonesia tidak pernah benar-benar dijelaskan kepada rakyatnya.


Tahun 1965 – Propaganda, Daftar Kematian, dan Kudeta Sunyi

Tahun 1965 adalah titik kelam. Gerakan 30 September yang penuh teka-teki memicu gelombang kekerasan anti-komunis. Dalam waktu beberapa bulan, ratusan ribu orang dibunuh, ditahan, atau dihilangkan.

Dokumen deklasifikasi dari Kedubes AS menunjukkan bahwa pihak Amerika mengetahui, bahkan ikut terlibat dalam pembentukan narasi anti-komunis di Indonesia. Dalam satu dokumen disebutkan bahwa CIA menyuplai daftar nama anggota dan simpatisan PKI kepada tentara Indonesia. Sejarawan Bradley Simpson menulis: “The US was not merely complicit. It was an active participant in the political extermination that followed.”

Dukungan AS terhadap Suharto bukan hanya soal stabilitas politik, tetapi bagian dari strategi global mereka untuk menggagalkan pengaruh komunis di Asia Tenggara. Dari sudut pandang Washington, ini adalah keberhasilan. Dari sudut pandang kemanusiaan, ini adalah tragedi yang belum sepenuhnya selesai.


Orde Baru dan Warisan Politik Amerika

Setelah kekuasaan Soeharto mengakar, hubungan Indonesia dan AS menjadi sangat dekat. Bantuan militer, pendidikan untuk perwira Indonesia di AS, serta investasi besar-besaran masuk ke negeri ini. Freeport membuka tambang emas di Papua. Pesawat tempur buatan AS terbang di atas langit Indonesia.

Namun di bawah permukaan, tetap ada ketegangan. AS mengecam pelanggaran HAM di Timor Timur, namun tetap menjual senjata. Mereka mendukung reformasi demokrasi pasca-1998, namun juga merupakan bagian dari arsitek kekuasaan otoriter sebelumnya.

Sejarah ini adalah dualitas: dukungan dan dominasi, pertolongan dan pengaruh, investasi dan intervensi.


Sejarah yang Tak Pernah Diam

Jejak Amerika di Indonesia bukan hanya soal perang atau perjanjian dagang. Ia tentang bagaimana bangsa ini belajar mengenali dirinya di antara tarik-menarik dua poros kekuatan dunia. Tentang bagaimana rakyat kecil merasakan dampak kebijakan besar. Tentang bagaimana sejarah bukan hanya milik pemimpin, tetapi juga milik mereka yang menjadi korban.

Dari pelabuhan Batavia yang ramai, hingga hutan Papua yang dikeruk; dari ruang diplomasi di Singapura hingga sel-sel penjara politik Orde Baru, jejak itu nyata.

Sebagaimana dikatakan sejarawan Eric Hobsbawm, “Sejarah adalah kenangan kolektif, dan mereka yang mengendalikan masa lalu, sering kali mengendalikan masa depan.”

Kini tugas kita bukan sekadar mengingat, tapi memahami—bahwa kemerdekaan tidak pernah datang tanpa harga. Dan sejarah, bukan sekadar catatan, tetapi panggilan untuk bertindak lebih adil, lebih sadar, dan lebih manusiawi.


Referensi dan Kutipan Penting:

  • “The presence of American traders in the East Indies necessitated the appointment of a consular agent in Batavia.” – U.S. Department of State, 1801

  • “Kennedy did not support Indonesia's claims out of affection. He did so because he feared losing Indonesia to the Communists.” – National Security Archive, 2001

  • “The US was not merely complicit. It was an active participant in the political extermination that followed.” – Bradley R. Simpson, Columbia University

  • Eric Hobsbawm – On History

  • Clive Day – The Policy and Administration of the Dutch in Java, 1904

  • Anna Wyrwisz – American Diplomacy in the East Indies, Ad Americam Journal, 2019


Kunjungi dan dukung riset sejarah kritis di NusantaraCerdas.blogspot.com

Tidak ada komentar